Terdapat dua pandangan utama mengenai sistem kepercayaan atau
religi masyarakat secara umum yaitu
1) Religi merupakan salah satu hasil
perkembangan kebudayaan manusia. Religi mulai muncul ketika
manusia purba mulai hidup dengan tidak sekedar memenuhi kebutuhan mempertahankan
hidupnya.Perkembangan religi dimulai ketika manusia mulai dapat menemukan perbedaan antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Satu organisme dikatakan hidup ketika dapat bergerak, sedangkan satu organisme dikatakan mati ketika tidak bergerak. Dari perbedaan tersebut kemudian manusia purba mulai sadar atas keberadaan suatu kekuataan yang menggerakan tersebut yaitu jiwa. Jiwa dianggap sebagai penggerak kehidupan manusia.
Kepercayaan akan adanya jiwa penggerak inilah bentuk kepercayaan manusia tertua yang kemudian mengalami perubahan perlahan hingga akhirnya membentuk religi atau kepercayaan mutakhir yaitu monoisme.
Pada perkembangan mutakhir seiring dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan, kepercayaan bahwa penggerak kehidupan adalah jiwa mulai meluntur karena manusia mulai menemukan penjelasan-penjelasan dari ketidaktahuannya tentang penyebab gerak manusia adalah hukum-hukum alam. Dengan demikian, dalam padangan yang pertama ini religi atau kepercayaan akan mulai luntur atau menghilang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk memperdalam mengenai pandangan ini berikut adalah bentuk-bentuk perkembangan kepercayaan yang dimulai dari kepercayaan purba hingga mutakhir
A) Kepercayaan pada roh nenek moyang
Kepercayaan pada roh nenek moyang adalah bentuk kepercayaan masyarakat Indonesia tertua. Kepercayaan ini diduga mulai muncul ketika masyarakat Indonesia masih mengandalkan kehidupan berburu, mengumpulkan serta meramu makanan. Pada masa berburu dan meramu makanan masyarakat Indonesia hidup secara nomaden di gua-gua atau di tempat-tempat yang memberikan keamanan dari serangan binatang buas atau gejala-gejala alam seperti gunung meletus ataupun hujan. Di gua-gua tempat tinggal manusia purba ditemukan peninggalan-peninggalan yang dapat ditafsirkan bahwa pada masa berburu dan mengumpulan makanan masyarakat Indonesia sudah mengenal kepercayaan primitif seperti tulang belulang yang dikuburkan, gambar-gambar pada dinding gua dan sebagainya.
Kepercayaan pada roh nenek moyang diawali ketika manusia mulai menemukan perbedaan-perbedaan antara benda hidup dan benda mati. Benda hidup dapat berberak karena digerakan oleh jiwa, sedangkan benda mati tidak bergerak karena tidak memiliki jiwa atau roh.
Kepercayaan akan adanya jiwa ini juga diduga berasal dari fenomena mimpi ketika manusia tertidur. Ketika bermimpi manusia melihat dirinya berada di tempat lain sedangkan tubuh jasmaninya tetap berada di tempat tidur. Bagian yang berada di tempat lain itulah jiwa. Kepercayaan ini kemudian berkembang menjadi kepercayaan bahwa jiwa dapat terus hidup tanpa adanya jasmani. Saat manusia meninggal barulah dipercaya bahwa jiwa telah benar-benar lepas dari jasmaninya. Jiwa yang telah benar-benar lepas dari dari jasmaninya dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta dipenuhi oleh jiwa-jiwa itu, dan jiwa-jiwa tersebut disebut roh.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan masyarakat Indonesia dipimpin oleh kepala suku yang dipilih menurut sistem primus interpares. Kepala suku dipilih karena memiliki keunggulan-keunggulan tertentu dibandingkan individu-individu lainnya, misalkan ahli berburu dan kuat dalam melindungi kelompoknya. Ketika pemimpin tersebut wafat maka anggota-anggota masyarakatnya percaya bahwa walaupun sosok pemimpin tersebut telah mati, roh menggerakan pemimpin suku tersebut akan terus ada dan tetap melindungi kelompoknya. Oleh karenanya roh atau jiwa pemimpin tersebut tetap dihormati dan dipuja-puja.
Ketika masyarakat Indonesia memasuki periode megalitikum bentuk-bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang diwujudkan dengan bangunan-bangunan khas zamannya yaitu menhir ataupun punden berundak-undak.
B) Animisme
Animisme adalah kelanjutan perubahan secara perlahan (evolusi) dari kepercayaan kepada roh nenek moyang. Kepercayaan ini berasal dari perkembangan berfikir manusia purba dalam memahami sebab-musabab gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya seiring dengan perkembangan daya berfikir manusia purba dalam memikirkan asal usul gejala-gejala alam seperti hujan, panas, gunung meletus, gempa bumi, tumbuh-tumbuhan, angin dan lain sebagainya. Ketika dihadapkan dengan fenomena alam yang terjadi seperti api yang membakar, air sungai yang mengalir, bencana gunung meletus manusia memerlukan pemercahan masalah alam tersebut dengan mencari sebab-sebab fenomena alam tersebut. Akhirnya, dikarenakan perkembangan berfikir yang belum berkembang dengan baik maka kemudian manusia purba menganggap bahwa penyebab fenomena-fenomena alam tersebut adalah roh.
Roh yang dianggap mengatur fenomena-fenomena alam dan juga alam semesta karena bentuknya yang tidak kasatmata atau tidak dapat ditangkap oleh panca indera dapat berbuat apa saja yang tidak dapat dilakukan manusia. Agar manusia purba dapat terus beraktivitas keseharian dengan penuh ketenangan, kelancaran dan sesuai harapan maka roh-roh tersebut perlu dihormati atau disembah. Penghormatan dan penyembahan manusia purba atas roh-roh pengatur alam semesta tersebut dilakukan dengan melakukan pembacaan doa-doa, pemberian sesaji, ataupun korban.
Pada masa sekarang animisme masih sangat melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, baik di kota maupun di desa. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan manusia Indonesia sekarang dalam memahami fenomena alam secara rasional-ilmiah. Kepercayaan-kepercayaan terebut akhirnya masih bertahan ditengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Diantara kepercayaan animisme yang masih berkembang pada masyarakat Indonesia diantara kepercayaan pada makhluk gaib bernama Nyi Roro Kidul yang merupakan penguasa laut selatan Jawa. Untuk menghormati kekuasaannya masyarakat Pangandaran dan Pelabuhan Ratu misalnya mengadakan upacara sedekah laut. Selain menghormati Nyi Roro Kidul, sedekah laut laut juga dilakukan agar para nelayan yang melaut disekitar tempat tersebut diberikan keselamatan dan perbaikan penghasilan.
C) Dinamisme
Istilah dinamisme berasal dari kata dinamo artinya kekuatan. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai sifat yang luar biasa (karena kebaikan atau keburukannya) sehingga dapat memancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia sekitarnya. Bagi manusia yang memiliki suatu benda yang diyakini berkekuataan gaib dan dianggap suci ini akan dapat dianggap memiliki keunggulan ataupun keburukan tertentu. Dengan demikian, dinamisme dapat dikatakan lahir dari kesadaran akan kelemahan manusia yang kemudian membutuhkan objek lainnya untuk menguatkannya.
Benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan dianggap suci ini disebut fetisyen yang berarti benda sihir. Benda-benda yang dinggap suci ini, misalnya pusaka, lambang kerajaan, tombak, keris, gamelan, cincin, kalung dan sebagainya akan membawa pengaruh baik bagi masyarakat; misalnya suburnya tanah, hilangnya wabah penyakit, menolak malapetaka, dan sebagainya. Antara fetisyen dan jimat tidak terdapat perbedaan yang tegas. Keduanya dapat berpengaruh baik dan buruk tergantung kepada siapa pengaruh itu hendak ditujukan.
Bagi anggota masyarakat yang masih menganut dinamisme sebuah keris tertentu bisa jadi dapat dianggap memiliki suatu kekuatan gaib seperti membuat lawan jenis tertarik atau jatuh cinta kepada pemilik keris, membuat si pemilih keris dapat menghilang atau tidak terlihat, memberikan usaha yang lancar dan sebagainya. Pada umumnya keris-keris fetisyen in memerlukan perawatan yang lebih dibandingkan keris-keris biasa lainnya seperti secara berkala dalam waktu-waktu tertentu keris tersebut perlu dimandikan dan diberikan sajen.
D) Monoisme
Telah disampaikan pada bagian sebelumnya bahwa dalam pandangan evolusinis agama adalah bagian dari hasil kreativitas manusia, dengan demikian agama adalah bagian dari kebudayaan. Agama dimulai dari yang paling sederhana yaitu kepercayaan pada roh nenek moyang, animisme, dinamisme, politeismedan terakhir monoisme atau monoteisme.
Monoisme dipercaya sebagai perkembangan sistem kepercayaan terakhir dalam skema kelanjutan perubahan secara perlahan dan terus-menerus dari yang sederhana hingga yang kompleks. Sebelum lahirnya monoisme masyarakat sudah mengenal animisme yang menyatakan bahwa roh adalah penggerak atau faktor penyebab tidak kasat mata yang menyebabkan berbagai fenomena alam. Lambat laun roh tesebut dianggap memiliki kemiripn seperti manusia yaitu seperi memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran. Roh-roh tersebut kemudian dikenal sebagai dewa-dewa alam. Seiring dengan ulai munculnya sistem pemerintahan (seperti kerajaan) kemudian roh-roh yang sudah dipersonifikasikan sebagai dewa juga hidup dalam susunan kenegaraan. Dengan demikian mulai munculan kepangkatan dewa-dewa, mulai raja dewa atau dewa tertinggi, hingga dewa-dewa lainnya yang lebih redah pangkatnya seperti dewa perang, dewa angin, dewa bumi dan sebagainya. Munculnya dewa-dewa alam inilah yang kemudian disebut politeisme.
Pada perkembangan kecanggihan berfikir manusia selanjutnya manusia mulai beranggapan bahwa dewa-dewa yang bersusun secara hirarkis tersebut pada hakikatnya hanya merupakan penjelaan satu dewa saja, yaitu dewa tertinggi. Jika terdapat satu Dewa benar-benar maha sempurna maka mustahil dewa tersebut memerlukan dewa-dewa lainnya. Akibat dari keyakinan itu kemudian berkembang tentang adanya satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa dan mulai munculah kepercayaan-kepercayaan yang bersifat monoisme atau monoteisme sebagai tingkat terakhir dalam evolusi kepercayaan manusia.
2) Religi merupakan sifat bawaan alami yang melekat pada diri manusia dan senantiasa mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku manusia. Dengan demikian religi atau sistem kepercayaan dalam pandangan kedua ini sangat berbeda dengan padangan pertama yang memandang bahwa religi adalah hasil budaya manusia. Pembawaan alami manusia ialah dikaruniakannya rasa ingin tahu yaitu dengan selalu mencari sebab musabab segala sesuatu. Dalam mencari sebab-sebab terjadinya sesuatu manusia tidak mustahil mengalami kekeliruan namun tidak berarti kekeliruan itu terus menerus dan menjauhkan manusia dari hakikat kebenaran.
Pencarian sebab-sebab seluruh fenomena dalam alam semesta pasti akan membawa manusia pada penyebab dari segala penyebab yang tidak membutuhkan penyebab atau sumber segala penyebab (prima causa). Penyebab segala sesuatu pasti tidak sama seperti dengan akibat-akibat yang dihasilkannya dan pasti Maha Sempurna, Tunggal, Tidak Terbagi itulah Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam padangan kedua ini sistem kepercayaan awal yang dianut oleh manusia adalah monoisme. Pada perkembangannya monoisme atau monoteisme dianut oleh masyarakat-masyarakat kuno di berbagai belahan dunia kemudian mengalami perubaha secara perlahan-lahan menjadi politeisme, animisme, dinamisme ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang. Perkembangan ini dapat dibuktikan dengan adanya dewa tertinggi dalam setiap peradaban manusia kuno, kemudian dewa tertinggi ini diinterpretasikan atau diungkapkan secara berbeda sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia saat itu. Misalkan Dewa Marduk (dewa pencipta) dalam kepercayaan bangsa Sumeria pada saat yang berlainan digambarkan sebagai Dewa Anu (dewa langit), Dewa Enlil (Dewa Bumi), dan Dewa Ea (dewa air).
0 komentar:
Posting Komentar